livingboardroom.com – Di balik tren minuman kekinian, terdapat sebuah warisan budaya bernama es legendaris somlo yang dahulu populer di kalangan pedagang pasar tradisional di Pulau Jawa. Somlo sesungguhnya adalah singkatan dari “soto + limun” — gabungan antara soto bening ringan dan kuah limun manis asam yang menyegarkan. Konon, minuman ini lahir sebagai penyegar setelah jam makan siang pedagang pasar supaya tak terlalu kenyang, sekaligus memberi semangat menghadapi siang terik. Paduan kaldu ayam bening, irisan daun seledri halus, bawang goreng, sedikit gula aren, dan tetesan jeruk limau menghasilkan rasa gurih-gurih manis, hangat sekaligus segar. Penyajiannya unik: kuah soto dituangkan ke dalam gelas kaca tipis, lalu ditambahkan es batu dan sedikit air limun. Kadang es ini diberi taburan kerupuk halus agar ada tekstur kriuk di tiap tegukan. Dalam tradisi kuliner lokal, es somlo dianggap sebagai minuman transisi — dia bisa diminum sebagai pelepas dahaga ringan atau bahkan sebagai hidangan pembuka di acara kecil.
Keunikan somlo terletak pada keseimbangan rasa gurih dan asam yang halus tanpa dominasi salah satu rasa. Filosofi kulinernya mencerminkan karakter masyarakat pedesaan: sederhana namun penuh kehati-hatian. Di era modern, es somlo mulai dilirik pengusaha minuman kreatif sebagai bahan eksperimental — dikombinasikan dengan sari buah markisa, sirup buah naga, atau diberi sentuhan soda ringan. Tetapi bagi para sesepuh kuliner, resep asli yang menerus dari tradisi lokal tetap paling dihargai. Melestarikan somlo bukan sekadar menjaga cita rasa dari masa lalu, melainkan juga menghormati nilai budaya kuliner tradisional yang mengandung kisah keseharian, kreativitas dan akar komunitas. Jika Anda berkunjung ke pasar tradisional di kota kecil di Jawa Tengah atau Jawa Timur suatu pagi, cobalah cari gerobak minuman tua yang menjajakan es somlo — Anda akan menemukan sensasi rasa tak biasa dan narasi panjang dalam satu teguk pencahayaan sejarah kuliner Nusantara.
